John Sung lahir di desa Hongchek, wilayah Hinghwa di Propinsi Fukien, Tiongkok Tenggara, pada tanggal 27 September 1901. Dialah anak ke-6 dari Pendeta Sung, pelayan firman di Gereja Metodis. Dan dialah anak pertama sesudah Nyonya Sung bertobat menjadi Kristen. Sebab itu sebelum lahir ia telah diserahkan kepada Allah untuk pelayanan-Nya, dan sesudah lahir, ia dinamai Yu-un (kasih karunia Allah). Kepalanya luar biasa besarnya dan bagian bawah mukanya kecil. Hal ini, juga karena anak itu mempunyai kulit hitam, yang tidak biasa bagi orang Tionghoa , menyebabkan ayahnya tidak begitu menyukainya. Lagi pula ia lahir pada waktu keluarga itu dilanda kemiskinan yang sangat parah. Bertambahnya seorang anak untuk diberi makan tidaklah menggembirakan sama sekali.
Pendeta Sung, ayahnya, adalah yang termuda dari empat bersaudara, yang pada tahun 1866 membentuk jemaat Kristen di desa mereka. Mereka semua adalah pemuda yang baru saja percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Seorang dari empat bersaudara itu menyerahkan sebuah kamar dalam rumahnya untuk tempat kebaktian. Saudara yang kedua mempunyai Kitab Injil Matius dan ia dapat membaca. Sumbangannya dalam kebaktian yang baru ini ialah membaca sebagian dari Kitab Injil. Peranan saudara yang ketiga ialah untuk berdoa sewaktu kebaktian. Saudara yang keempat mempunyai bakat berbicara, dan semua setuju ia yang jadi pengkhotbah walaupun ia baru berumur 16 tahun.
Kemudian empat bersaudara itu sepakat memutuskan, bahwa yang termuda akan dikirim ke Sekolah Tinggi Teologia di Foochow untuk belajar menjadi pendeta. Jadi pada suatu hari anak yang keempat itu berangkat ke ibukota, berjalan kaki melalui lembah-lembah yang hijau dan gunung-gunung yang ditumbuhi pohon-pohonan. Masa belajarnya di Foochow merupakan salah satu perjuangan kerohaniannya, karena barulah di sana pemuda itu menjadi 'kejadian baru' dalam Kristus melalui kelahiran kembali sesudah dua tahun belajar sia-sia. Sesudah tamat ia kembali ke Hinghwa, memulai pelayanan firman di antara petani di bukit-bukit dan lembah-lembah sekitar tempat tinggalnya.
Tantangan pertama terhadap kuasa gelap di Hinghwa terjadi tahun 1862 dengan masuknya Injil. Mula-mula seorang awam dari gereja daerah lain mengabarkan kabar kesukaan di sana. Lalu tahun 1887 terbentuklah jemaat kecil setempat yang pertama. Kemudian pekerjaan itu diteruskan oleh penginjil-penginjil Metodis, dan dengan menggabungkan diri kepada penginjil inilah Pendeta Sung mengabdi kepada Allah selama hidupnya.
Tujuh tahun sesudah meraih pangkat pendeta, Pendeta Sung menikah dengan seorang gadis dari anggota keluarga yang setia kepada agama Buddha. Kepada gadis ini ia telah ditunangkan sebelum ia lahir. Tapi perkawinan mereka secara Kristen, meskipun baru beberapa tahun kemudian Nyonya Sung bertobat dan menjadi Kristen. Kesembuhan yang sangat mengagumkan--setelah Nyonya Sung hampir meninggal saat melahirkan anaknya yang kelima yang 'lahir meninggal'--dipakai Allah menarik dia untuk mempercayai Juruselamat.
Pendeta Sung sering bepergian dan waktunya banyak disita oleh pekerjaannya sebagai pendeta. Tapi Nyonya Sung bekerja keras di sawah untuk menambah penghasilan keluarga itu. Timbul banyak pergumulan berat ketika keluarga itu bertambah besar. Sesudah kelahiran anaknya yang pertama, Pendeta Sung hampir terjebak dalam cobaan melepaskan tugas berat kependetaan di desa itu, dan menggantinya dengan jabatan ringan sebagai guru di kota. Tapi ketika ia berlutut berdoa Tuhan berbicara kepadanya, 'Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri.' (Amsal 3:5). Seolah-olah suara itu berkata kepadanya, 'Hamba-Ku janganlah takut, engkau ada dalam tangan-Ku. Aku tahu kebutuhan keluargamu.'. Pengalaman inilah yang mengatasi persoalan itu, dan ia tidak pernah lagi menoleh ke belakang.
Pendeta Sung adalah seorang yang lekas marah, dan segera nampak bahwa anaknya, Yu-un, mewarisi tabiat itu. Setelah anak itu bertumbuh besar, selalu terjadi kesulitan antara ia dengan ayahnya. Tongkat bambu ayahnya sering dipakai untuk menghajar Yu-un, dan Yu-un mencari cara-cara licik untuk membalas. Pada suatu kali waktu Yu-un marah ia menabrakkan kepalanya menghantam buyung tanah sehingga buyung itu hancur. Pada pertistiwa lain ia melemparkan sebuah mangkuk berisi nasi panas ke wajah adikknya laki-laki. Ia melukai adiknya itu dengan luka bakar dan memecahkan mangkuk. Takut akan hukuman yang dia tahu pasti akan datang, ia putuskan untuk melompat ke dalam sumur, suatu cara umum di Tiongkok untuk menjengkelkan keluarga. Tapi ia kalah cepat mengangkat tutup sumur itu dan hukuman berat pun menimpa dia. Suatu kali sesudah dipukuli, ia mengintip dari celah-celah kamar kerja ayahnya. Ia heran melihat ayahnya menangis. Lalu ia berlari dan berteriak menabrak pintu mendapatkan ayahnya. Yu-un berteriak, 'Apa yang terjadi, Ayah? Ayah menghukum aku, tapi aku tidak menangis. Mengapa ayah menangis?' Jawab ayahnya adalah pelajaran mengenai kasih sayang Allah.
Meskipun sekali-kali terjadi letusan-letusan kemarahan seperti ini, keluarga itu adalah keluarga yang berbahagia. Yu-un adalah anak laki-laki kedua dari 6 orang laki-laki, dan kakaknya perempuan ada 4 orang. Kira-kira tahun 1907 Pendeta Sung pindah bersama keluarganya ke kota Hinghwa karena dia diangkat menjadi Wakil Kepala Sekolah Alkitab Metodis di sana. Yu-un pada waktu itu berumur 6 tahun. Kecerdasannya mengagumkan. Ia hafal semua cerita yang didengarnya di Sekolah Minggu. Gurunya di Sekolah Minggu itu mencintai dan mengerti anak-anak. Pengaruhnya besar atas semua anak didiknya.
Di Sekolah Kristen di mana Yu-un disekolahkan, segera nampak bahwa ia mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Ini menyenangkan hati ayahnya. Anak-anak sekolah, seperti anak-anak sekolah di setiap negeri, mempunyai nama sindiran yang diberikan oleh teman-temannya kepada mereka. Yu-un adalah si 'Kepala Besar'. Kepala Yu-un tidak pernah dicukur sesuai kebiasaan Tionghoa pada zaman itu, dan rambutnya yang tak teratur membuat kepalanya kelihatan lebih besar dari yang sebenarnya.
Tiba-tiba keluarga Sung ditimpa kesedihan besar. Suatu sore sepulang sekolah, Yu-un menjumpai orangtuanya menangisi mayat kakaknya perempuan yang paling muda.
'Ke mana orang pergi sesudah mati, Ayah?' tanya Yu-un. 'Kepada Tuhan Yesus!' jawab ayahnya. Tapi pada pikiran anak yang masih muda itu, seolah-olah itulah hari kiamat.
Dikutip dari : John Sung, Obor Allah di Asia
Special Thanks to : Tante Sonya, yang membolehkan aku pinjam buku ini.. :D